Translate

Senin, 18 November 2013

Legal Opinion Kasus Bioremediasi Fiktif Chevron

PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang beroperasi di wilayah Riau, sejak tahun 2003 – 2011 melakukan proses bioremediasi di beberapa wilayah yang terdeteksi terkontaminasi limbah untuk mengembalikan tanah yang terkontaminasi limbah hasil produksi minyak bumi. Bioremediasi ini dianggarkan USD 270 juta yang diambil dari klaim biaya pemulihan (cost recovery) yang ditanggung oleh pemerintah. Proyek bioremediasi dikerjakan oleh CPI beserta tujuh perusahaan swasta, dua diantaranya adalah PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ) sebagai kontraktor pelaksana bioremediasi. Mekanisme pemilihan kontraktor sebagai pihak ketiga dari proyek bioremediasi ini dipilih dengan cara tender. Namun, pada pelaksanaannya proses bioremediasi tidak dilakukan sebagaimana mestinya, sehingga muncul adanya dugaan korupsi di dalamnya. Belakangan CPI mengajukan biaya cost recovery yang diduga merugikan Negara hingga Rp 210,25 miliar. Tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka, lima diantaranya berasal dari unit kerja CPI dan dua lainnya berasal dari perusahaan pemenang tender yaitu GPI dan SJ. Lima orang tersangka telah menjadi terdakwa yaitu, Direktur Utama SJ Herland bin Ompo, Direktur GPI Ricksy Prematuri, Manajer Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) Endah Rumbiyanti,Team Leader SLN Kabupaten Duri Widodo, dan Team Leader SLS Minas Kukuh Kertasafari. Hingga saat ini pengadilan tipikor telah memutus dua orang terdakwa, yaitu Herland bin Ompo dan Ricksy Prematuri. Keduanya didakwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Herland bin Ompo telah merugikan Negara hingga mencapai USD 6,99 juta dan divonis 6 tahun penjara dan denda sebanyak Rp 250 juta dan SJ harus mengganti kerugian Negara sebesar USD 6,99 juta. Sedangkan Ricksy Prematuri divonis 5 tahun penjara dan denda sebesar 200 juta rupiah, dan GPU harus mengganti kerugian Negara sebesar USD 3,089 juta. Untuk tiga terdakwa lainnya, proses pengadilan masih berlangsung.
Analisis Kasus Ditinjau dari Peraturan-Peraturan Lingkungan Hidup

Pemulihan fungsi lingkungan hidup wajib dilaksanakan oleh pihak yang melakukan pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kegiatan industri yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib mengolah limbah hasil produksinya sebelum membuangnya ke media lingkungan hidup, limbah minyak bumi yang dihasilkan usaha atau kegiatan minyak, gas, dan panas bumi atau kegiatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun, demikian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun jo. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999.Pelaksanaan pengolahan limbah minyak bumi dan tanah yang terkontaminasi minyak bumi dapat dilakukan secara biologis, yang mana tata cara pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003 tentnag Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis.
Kegiatan bioremediasi yang dilakukan oleh CPI dilakukan berdasarkan ketentuan pada PP No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun jo. PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas PP No. 18 Tahun 1999. Sedangkan untuk tata cara pelaksanaan bioremediasi dilaksanakan berdasarkan ketentuan pada KepMenLH No. 128 Tahun 2003. Bioremediasi adalah proses pengolahan limbah minyak bumi yang sudah lama atau tumpahan/ceceran minyak pada lahan terkontaminasi dengan memanfaatkan makhluk hidup mikroorganisme, tumbuhan, atau organisme lain untuk mengurangi konsentrasi atau menghilangkan daya racun bahan pencemar. Sebelum melakukan pengolahan limbah dengan metode biologis, maka perlu dilakukan analisis terhadap bahan yang diolah untuk mengetahui komposisi dan karakteristik limbah, yang terdiri dari kandungan minyak atau Total Petroleum Hydrocarbon(TPH), kandungan logam berat, dan uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) logam berat. Sedangkan persyaratan limbah minyak bumi yang diolah secara biologis adalah sebagai berikut:
  1. Konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis adalah tidak lebih dari 15%;
  2. Konsentrasi TPH yang sebelum proses pengolahan lebih dari 1% perlu dilakukan pengolahan atau pemanfaatan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan teknologi yang tersedia dan karakteristik limbah;
  3. Hasil uji TCLP logam berat berada di bawah baku mutu seperti yang dicantumkan dalam Kep-04/Bapedal/09/1995;
Dalam melakukan bioremediasi, CPI melaksanakannya bersama tujuh kontraktor pengolah limbah, dua diantaranya adalah GPI dan SJ. Pada dasarnya pihak penghasil limbah B3 dapat menyerahkan pengolahan limbah B3 yang dihasilkannya kepada pengolah limbah. Hal ini diatur dalam PP No. 18 Tahun 1999 jo. PP No. 85 Tahun 1999. Hanya saja dalam melakukan pengolahan baik pihak penghasil limbah B3 maupun pihak pengolah limbah B3 wajib memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam PP tersebut.  Persyaratan yang wajib untuk dipenuhi tidak hanya hal-hal yang berkaitan dengan teknis pengolahan, tetapi juga mengenai persyaratan administratif. Pada Pasal 3 KepMenLH No.128 Tahun 2003, juga menyebutkan bahwa ketentuan perizinan pengolahan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi mengacu pada Pasal 40 PP No. 18 Tahun 1999 tentang Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang mana disebutkan bahwa pengolah wajib memiliki izin operasi dari Kepala Instansi yang bertanggung jawab dan ketentuan mengenai tata cara memperoleh izin diatur lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab
Pelaksanaan bioremediasi yang dilakukan oleh CPI, GPI, dan SJ di 28 lahan yang terkontaminasi haruslah mengikuti tata cara yang telah diatur dalam KepMenLH No.128 Tahun 2003. Bioremediasi baru dapat dilakukan setelah menganalisis tanah yang terkontaminasi, apakah konsentrasi maksimum TPH awal tidak lebih dari 15% dan persyaratan-persyaratan lain yang tercantum dalam KepMenLH No.128 Tahun 2003. Kondisi tanah yang akan menerima bioremediasi yang dilakukan oleh CPI dan SJ memiliki TPH awal kurang dari 15% yaitu rata-rata 1,73% sehingga proses bioremediasi dapat dilakukan di wilayah tersebut, karena tidak adanya batasan minimum dari TPH awal melainkan hanya ada batas maksimum yaitu sebesar 15%.
Sehingga, bila melihat pada kedua peraturan yang mendasari pelaksanaan bioremediasi yang dilakukan oleh CPI, bioremediasi dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang dalam hal ini adalah GPI dan SJ, dengan ketentuan GPI dan SJ memenuhi persyaratan yang tercantum dalam PP No. 18 Tahun 1999 jo. PP No. 85 Tahun 1999. GPI dan SJ sebagai kontraktor pengolah limbah B3 yaitu peraturan pelaksana bioremediasi, wajib memiliki izin operasi yang dikeluarkan oleh Kepala Instansi terkait. Yang mana instansi yang bertanggung jawab adalah di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup. Meskipun demikian, PP No. 18 Tahun 1999 jo. PP No. 85 Tahun 1999 tidak menjelaskan adanya kewajiban pihak pengolah untuk memiliki izin atau sertifikasi sebagai pihak pelaksana bioremediasi, yang ada hanya izin operasi serta apabila kegiatan pengolahan terintegrasi dengan kegiatan pokok wajib memperolah izin operasi alat pengolahan limbah B3 yang juga dikeluarkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab. Sejauh ini, pelaksanaan bioremediasi ini disetujui dan diawasi oleh BP Migas (SKK Migas) dan KLH. Selain itu, merujuk pada KepMenLH No.128 Tahun 2003, dilakukannya proses bioremediasi harus memenuhi persyaratan TPH awal tidak lebih dari 15%, karena apabila lebih maka harus dilakukan perlakuan tertentu terlebih dahulu, namun tidak terdapat batasan minimum TPH yang harus dipenuhi untuk melakukan bioremediasi. Berarti, apabila terdapat lahan yang terpapar minyak bumi memiliki TPH meskipun hanya sebesar 1% maka, proses bioremediasi dapat dilakukan. Demikian kegiatan bioremediasi yang dilakukan oleh CPI juga telah memenuhi persyaratan lahan yang akan mendapat perlakuan bioremediasi, karena dari 28 lahan tercemar didapatkan hasil TPH rata-rata sebesar 1,73%.
Penerapan Delik Korupsi Dalam Transaksi Bisnis
Kegiatan bioremediasi CPI diketahui termasuk dalam anggaran biaya pemulihan (cost recovery) yang mana antara tahun 2003 – 2011 dianggarkan sebesar USD 270 juta. Belakangan, dari proyek bioremediasi ini CPI mengajukan biaya pemulihan lingkungan yang diduga merugikan Negara hingga Rp 210,25 miliar. Para terdakwa, didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Dua terdakwa yang telah menerima putusan pengadilan tipikor yaitu Herland bin Ompo yang merupakan pimpinan SJ dan Ricksy Prematuri yang merupakan direktur GPI, masing-masing dinilai telah melakukan tindak pidana korupsi dan merugikan Negara. Herland bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan membuat Negara kerugian hingga mencapai USD 6 juta, sedangkan Ricksy dihitung telah merugikan Negara sebesar USD 3, 08 juta.
Proyek bioremediasi CPI telah dibahas, diaudit, dan disetujui oleh BP Migas (SKK Migas) dan badan audit pemerintah. Meski BP Migas (SKK Migas) telah menyetujui program bioremediasi dimasukkan dalam cost recovery, hingga kini semua biaya terkait bioremediasi ditanggung oleh CPI. Cost recovery adalah dana yang dibayarkan pemerintah pada perusahaan migas sebagai pengembalian biaya operasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas. Kontraktor membayar lebih dahulu nilai pengeluaran untuk biaya operasi tersebut. Selain menyediakan dana, kontraktor wajib meyediakan teknologi, peralatan, dan keahlian yang diperlukan bagi eksplorasi dan eksploitasi migas serta menanggung semua risiko yang timbul. Penggantian biaya operasi oleh pemerintah dalam perhitungan bagi hasil yang disebut sebagaicost recovery.
Proyek bioremediasi yang dilakukan CPI yang diduga tidak ada atau fiktif, telah merugikan Negara karena menggunakan dana penggantian pemulihan lingkungan (cost recovery) tersebut. Sehingga dinilai sebagai tindak pidana korupsi, sebagaima disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi,
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda aling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
 Pasal 2 ayat (1) ini memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang berarti perbuatan yang dilakukan oleh pelaku akan menambah kekayaan.
  2. Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum. Dengan mencantumkan sifat melawan hukum maka dipertegas unsur melawan hukum ini ada dalam arti formil dan arti materiil. Meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, apabila perbuatan tersebut melanggar norma-norma dan rasa keadilan yang ada di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
  3. Dapat merugikan keuangan dan perekonomian Negara.
Keuangan Negara: seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
-          Dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Negara baik ditingkat pusat maupun daerah.
-          Dalam pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD yayasan, badan hukum, perusahaan yang menyertakan modal Negara perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Perekonomian Negara: Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeuargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang berdasarkan kebijkan pemerintah, baik di pusat/daerah berdasr penataran perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberi manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyrakat.
Pasal 2 ayat (1) ini menunjukkan tindak pidana korupsi merupakan delik formil, artinya cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan, bukan dengan timbulnya akibat.
Sehingga, apabila proyek bioremediasi ini benar telah merugikan Negara dengan mengeluarkan dana cost recovery sedangkan tidak terdapat pemulihan yang dimaksud, maka dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dipastikan dengan melakukan cek realisasi dan pertanggungjawaban cost recovery baik di BP Migas dan perusahaan kontraktor, sehingga bila proyek bioremediasi tidak pernah dilaksanakan, namun telah terjadi penggantian dana oleh Negara, maka pasti akan sepengetahuan Negara/ izin BP Migas. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah bioremediasi benar-benar telah dilakukan, seharusnya dapat diketahui melalui analisis laboratorium, pada saat sebelum dan sesudah proses bioremediasi dilakukan. Hal ini juga dapat dipastikan, karena sesuai dengan PP No. 18 Tahun 1999 jo. PP No. 85 Tahun 1999, kegiatan pengolahan limbah B3 harus mendapatkan izin dari instansi yang bertanggung jawab dan baik penghasil dan pengolah wajib membuat catatan mengenai sumber limbah, jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang diolah, yang mana harus disampaikan sekurang-kurangnya enam bulan sekali kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan instansi terkait dan Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II yang
UU No 22/2001 tidak memuat ketentuan sebagaimana dimuat dalam Pasal 14 UU No 31/1999 yang telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan ‘Setiap orang yang melanggar ketentuan UU yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan UU tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam UU ini’.
Pelanggaran terhadap UU No 22/2001 yang termasuk kualifikasi tindak pidana dapat dikenai tindak pidana korupsi apabila dalam UU tersebut secara eksplisit mencantumkan ketentuan pasal 14. Secara a contrariodiartikan bahwa jika tidak mencantumkan isi ketentuan pasal 14, tindak pidana dalam UU tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
            Terhadap permasalahan hukum mengenai penerapan tindak pidana korupsi dalam transaksi bisnis berupa cost recovery suatu proyek antara KKKS dan SKK Migas menjadi tidak mungkin dikenakan dengan alasan:
  1. Kontrak tersebut dilaksanakan dalam rangka melaksanakan UU No 22/2001 dan jika terjadi pelanggaran yang termasuk kualifi kasi pelanggaran pidana, termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi sebagaimana diatur dalam pasal 51 sampai dengan pasal 56, bukan tindak pidana korupsi.
  2. Jika transaksi bisnis cost recovery antara KKKS dan SKK Migas dipandang sebagai murni independen di antara dua rekanan pengusaha yang tidak ada kaitannya/ tidak terkait dengan atau dikaitkan dengan UU No 22/2001, pelanggaran terhadap kontrak tersebut murni masuk ke ranah hukum perdata, dan perselisihan dalam bidang hukum perdata yang diselesaikan berdasarkan hukum kontrak, yakni mekanisme penyelesaian yang telah disepakati dalam kontrak di antara dua pihak/ pihak-pihak yang menandatangani kontrak tersebut.
            Berdasarkan ketentuan tersebut, jika pelanggaran UU No 22/2001 yang termasuk kategori pelanggaran pidana (pasal 51 sampai dengan pasal 56) karena tidak ada ketentuan Pasal 14 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pelanggaran KKKS dengan SKK Migas yang termasuk kategori pelanggaran hukum perdata mengenai kontrak, tidak ada pertimbangan dan alasan hukum untuk membenarkan pengenaan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan kontrak di antara dua perusahaan tersebut. Padahal kontrak tersebut sah dan berlaku mengikat kepada kedua belah pihak, dan memiliki kekuatan seperti UU bagi yang menandatanganinya.
            Jika pihak pertama dalam suatu kontrak adalah negara atau pemerintah yang bertindak mewakili atau atas nama negara, sedangkan pihak kedua adalah swasta murni, kemudian terjadi sengketa pihak pertama dengan pihak kedua. Lalu pihak pertama menggunakan kekuasaannya dalam bidang penegakan hukum pidana, dalam hal ini polisi dan/ atau jaksa untuk memproses persengketaan mengenai pelaksanaan kontrak tersebut dengan pihak kedua, dengan cara menyatakan terjadinya tindak pidana, menahannya, kemudian mengajukan ke pengadilan pidana atau pengadilan tindak pidana korupsi. Itu adalah tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan prinsip penyelesaian sengketa atau perselisihan dalam bidang hukum keperdataan, meskipun pihak pertama adalah negara atau pemerintah. Perbuatan tersebut termasuk sebagai perbuatan menyalahgunakan wewenang dalam bidang penegakan hukum pidana.
            Permasalahan hukum yang muncul yang bersumber dari pelaksanaan kontrak diselesaikan melalui mekanisme yang telah disepakati dalam kontrak. Permasalahan hukum tersebut tidak dapat dikualifi kasikan sebagai tindak pidana, atau dikenai tindak pidana korupsi.
            Pelanggaran UU No 22/2001 yang termasuk kategori pelanggaran pidana (pasal 51 sampai dengan pasal 56) karena tidak ada ketentuan Pasal 14 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pelanggaran terhadap isi kontrak PSC dengan SKK Migas yang termasuk kategori hukum perdata mengenai kontrak. Tidak ada pertimbangan dan alasan hukum untuk membenarkan pengenaan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan kontrak di antara dua pihak tersebut, padahal kontrak tersebut sah dan berlaku mengikat kepada kedua belah pihak dan memiliki kekuatan seperti UU bagi yang menandatanganinya.
            Namun terkait dengan Tindak Pidana Korupsi hal ini masih bisa dikaitkan dengan Pasal 3 Uu No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Dimana disebutkan Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara dapat dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun. Namun perbuatan yang dikenakan pasal Tipikor ini tidak bisa dikaitkan dengan pelanggaran atas kontrak tetapi melainkan pelanggaran pada pelaksanaan kontrak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar